Jika kita mampu bisa melihat kembali masa lalu kita dengan jelas, apakah masa lalu itu akan menentukan pilihan yang akan kita ambil? Di sini kita berada, entah duduk, entah berdiri, entah tertidur, entah berpikir, entah apa; di sini juga kita bisa membuat pernyataan: “Aku di sini karena jalan yang telah kulalui”. Walaupun demikian, kemungkinan pernyataan bahwa: “Aku di sini karena jalan yang akan kulalui”, tidak juga bisa disangkal tanpa langkah yang tepat. “Di sini” bukan hanya milik ruang, di sini, juga milik detik ini.
Jika kita bisa melihat masa lalu, apakah kita bisa menemukan alasan mengapa kita di sini? Masa depan di mana kita yang di sini akan berada, belumlah pasti jenis dan keberadaannya. Ada sejumlah tak terbatas kemungkinan masa depan di mana kita bisa berada. Tapi, apakah demikian halnya dengan masa lalu? Apakah kita memiliki sejumlah tak terbatas kemungkinan masa lalu, di mana salah satunya yang menyebabkan kita sekarang ada “di sini”?
Jika memang ada ketidakterbatasan kemungkinan masa lalu yang bisa kita jalani, bukankah itu menyenangkan sekali? Jika saja kita bisa melanggar aturan waktu yang terus bergerak maju, kita mungkin bisa memilih masa lalu. Masa lalu itu penuh dengan segala hal yang membuat kita tertawa dan menangis. Bisakah kita memilih masa lalu di mana hanya ada tawa? Apakah mungkin ada kebaikan tanpa keburukan? Apakah mungkin mendapatkan sesuatu yang membahagiakan tanpa kehilangan sesuatu yang membahagiakan? Dengan melihat masa lalu dari semua diri kita, kita bisa menemukan jawabannya sendiri, bahwa, tak ada satupun kebaikan yang cuma-cuma. Kita…aku harus membayar mahal kebaikan yang kuperoleh, dengan kehilangan sesuatu yang sangat berharga, selalu begitu… Yah, inilah namanya keseimbangan, keadilan. Perjalanan alam semesta menuntut adanya keseimbangan. Jika tidak, semua akan tidak memiliki arti, bahkan semua aturan, pernyataan, hukum, dan kata-kata ini.
“Semua hal yang baik akan berakhir….”
Jika kita melihat matahari, kita memandang ke belakang 8 menit yang lalu… Jika makin jauh kita memandang jutaan titik sinar di langit malam, berarti kita memandang jutaan titik masa lalu yang jauh. Yang manakah masa lalu yang paling baik buat kita? Orang yang merasa dirinya bijak mesti akan menjawab, “Masa lalu yang membawa kita ke titik sekarang inilah yang terbaik”… Jika kita memandang langit malam yang kelam, jika aku memandang langit malam yang gelap, aku bisa melihat masa lalu itu. Wishful thinking of undoing the past… Khas sekali bagi manusia, mengharapkan masa lalu yang lain, mengharapkan yang tidak dimilikinya. Mungkin ada satu titik di langit malam, di mana aku bisa melihat itu semua lagi.
Masa lalu bisa membuat kita seperti ini. Apakah ini takdir atau ini pilihan? Orang merasa bijak pertama ‘kan berkata: “Ini takdir!”. Orang merasa bijak kedua ‘kan bilang: “Ini pilihanmu, engkaulah yang menyebabkan dirimu sendiri seperti ini!” Andai saja aku bisa jadi orang bijak… wishful thinking… I had my past… Cuma langit malamlah yang bisa menjawab, semua retorika yang berawal dengan kata-kata: “Kalau saja….”
“Those good old days are gone…”
[sebuah tulisan dari Kinarya Samudra (2007)]
credit : ryuditto.multiply.com/journal